Renungan hari ini : Mari kita perlakukan setiap orang yang berinteraksi dengan kita dengan penuh ketulusan sehingga kita tidak mendapatkan dari mereka selain potensi dan kebaikan untuk kebaikan dan kemajuan bersama. Tetap Semangat
Saya tertarik dengan topik renungan saya kali ini, pagi pagi sebelum saya berangkat ke kantor bersama istri, Izzuddin, anak Sulung kami sedang “mogok”. Istilah kami ketika melihat anak anak sedang manja sehingga terjadi suara tangis tangis anak anak yang begitu merdu terdengar, hehe..kami sangat bahagia dengan tangisan tangisan anak anak kami karena ke”mogok” annya. Kemudian istri mengajak ngobrol Mas Izzu, saya perhatikan dari ruang tengah. Di meja makan istri saya mengajak ngobrol dan didengarkan setiap marahan marahan Maas izzu yang dilontarkan kepada adiknya itu kepada uminya. Istri saya. Istri saya mendengarkan dengan penuh pengertian, ditatap mata Mas Izzu dengan penuh kelembutan, sesekali di usap air mata anaknya yang sulung ini. Sesekali istri saya mengatakan “ooo.. begitu, terus kenapa mas tidak mencoba sendiri tadi, kan dedek sudah mencoba kemudian gagal. Kenapa mas tidak mencoba sendiri dengan miliknya sendiri. Kalau mas nangis karena mainannya mas dipinjam dedek, akrena pikir dedek mas tidak menggunakan mainan itu, memang sih, harusnya dedek minta ijin dulu tuh sama mas. Coba aja mas main sendiri dan berlomba sama dedek. Pasti seru deh”. Sepeertinya Mas Izzu menerima saran dari Uminya, kemudian dia bermain, mencoba dan berkompetisi dengan adek nya. Lebih tepatnya adek kembarnya. Karena kami punya memiliki 3 anak, pertama putra usia 7 tahun namanya Izzuddin dan yang kedua kembar, Fatimah Azzahra dan Husna Annisa usia 5 tahun setengah. Kemudian saya dan istri berpamitan dengan mereka yang sedang bermain. “Mainnya 15 menit lagi ya, sebentar lagi anak anak harus ke sekolah, jadi anak yang Soleh dan Solehah ya..” kami kecup kening mereka bertiga.
Sepanjang perjalanan ditemani istri menuju ke kantor saya tertarik dengan cara istri saya memperlakukan Mas izzu. Kemudian saya bertanya kepada istri saya. “Ay, Mas Izzu kok patih banget kalau sama umi. Kalau sama abinya pasti tadi masih protes saja dia, ganti minta ini dan itu”. “yaaah.. si abi nih. Pakai cara dong. Kita harus biarkan dia cerita sampai tuntas, baru kita berikan solusi.” Jawab istri saya. “yee, kalau hanya begitu abi juga bisa, maksud abi kok umi sabar banget menghadapi mas izzu, paling tidak dibanding abi lah..” saya termasuk penyabar, hehe.. memuji diri sendiri, tapi pada kasus tadi pagi istri saya sepertinya lebih juara dibandingkan dengan saya. Jawab istri sungguh menohok saya “Karena umi yang melahirkan, dan dia anak kita, kita harus memberikan ketulusan dalam setiap interaksi kepada anak kita. Barangkali abi ketulusannya di kotori dengan amarah kali”. Mak Jlebb….ini dia nih, selama ini memang terkadang saya dalam menghadapi anak anak ketika “mogok” dilambari dengan marah, sehingga muncul nada yang meninggi, memaksakan argumen dan kudu patuhi pendapatnya. Sehingga akbibatnya lebih banyak gagalnya dibandingkan berhasilnya pada proses mengatasi kemogokan ini.
Saya selalu mencoba mengaitkan setiap pengalaman pengalaman kecil dalam kehidupan saya dengan sesuatu yang lebih luas atau bahkan lebih bessar. Konsep ketulusan yang telah diajarkan oleh istri saya dengan izzuddin anak saya tadi pagi menjadi sebuah topik diskusi pagi di Tim HRD PT. Ricobana Abadi, dimana saya menjadi Leadernya atau menjadi manajernya. Kebetulan di atas meja kerja saya ada sebuah buku yang berjudul “A Leader legacy” yang dikarang oleh James M Kouzes seorang executive Fellow pada center for innovation and entrepreneurship di Santa Clara Universityy dan Barry Z Posner, seorang dekan pada leavey school of bussiness dan profesor bidang kepemimpinan di Santa Clara university. Di dalam bukunya pada halaman 154 sampai 156 mereka menuliskan seperti pada tulisan saya dibawah ini.
Orang yang bekerja dengan kita dan kita andalkan juga manusia, dan diluar intensitas mereka yang terbaik mereka tidak selalu melaksanakan apa yang menurut mereka akan mereka kerjakan. Kita perlu memberi mereka kesempatan yang sama sebagaimana kita berusaha sendiri dan gagal untuk mencoba kembali. Kita perlu memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi yang terbaik. Kita perlu mendukung mereka mengenali bahwa perjalanan ini bukanlah tentang kesempurnaan tetapi tentang menjadi manusia seutuhnya.
Peran ketulusan dari setiap atasan atau setiap rekan kerja kepada bawahan atau rekan kerja yang lainnya sesungguhnya akan menjadi sebuah lahan pelatihan tersendiri pada bawahan atau rekan sekerja kita. Dengan ketulusan kita akan mendapati bahwa partner kita membutuhkan sedikit lebih banyak kesempatan untuk mengulangi tugas itu dengan cara yang lain. Mereka memiliki potensi lainnya yang bisa digunakan untuk membesarkan organisasi kita dengan pendekatan dan sentuhan yang berbeda. Cara pandang tentang ketulusan kepada orang lain ini yang akan membesarkan dan mendewasakan mereka yang berinteraksi dengan kita. Bahkan lebih dari itu, dengan cara pandang ini akan memungkinkan kita mendapatkan “mukzizat” dalam persoalan yang kita hadapi, yang tanpa hal ini kebanyakan dari kita sudah mengakan mustahil rencana itu akan berhasil.
Saya teringat ketika masih aktif dalam organisasi kemahasiswaan ketika masih kuliah menempuh pendidikan sarjana di Teknik Elektro Universitas diponegoro. Sewaktu saya menjadi ketua salam salah satu organisasi tersebut, sudah menjadi tanggung jawab dan tugas saya untuk memimpin rapat rutin dan rapat harian dari pengurus. Dan dalam setiap kali saya memimpin rapat, setelah selesai rapat saya selalu dikomplain oleh salah satu pengurus, karena diantara pengurus yang hadir itu, katakanlah namanya Mr. C, tidak pernah dalam rapat pengurus itu kecuali sejak pertama datang sampai akhir posisinya selalu tertidur. Ya.. tertidur. Itu yang menyebabkan salah satu pengurus itu komplain. Suatu ketika kami sedang menghadapi sebuah masalah, ketika sebuah program cukup besar yang akan kita lakukan, beberapa perusahaan sponsor membatalkan sponsornya secara sepihak maka selaku panitia dan pengurus kami kelabakan. Bagaimana kegiatan bisa jalan sedangkan pendanaan sedang ada masalah. Ketika semua pengurus sedang panik, tiba – tiba, Mr. C dengan tenangnya mengatakan kepada hadirin “dananya kurang berapa?, ayah saya punya beberapa kenalan direksi perusahaan di jakarta. Rasanya bisa membantu untuk kegiatan iini”. Kami semua saling bertatap pandang antar pengurus, serasa tidak percaya, kawan kita yang selama ini kita anggap sebagai pelengkap kehadiran saja ternyata memiliki kontribusi yang sangat besar, bahkan terbesar. Saya kemudian mengatakan kepada rekan pengurus yang komplain tadi, “apa yang terjadi jika kita mengacuhkan Mr. C sampai akhirnya dia merasa tidak nyaman dan tersinggung dengan sikap kita. Maka kegiatan kita besok bisa batal dan hal itu adalah kegagalan kepengurusan kita dalam organisasi ini”.
Saudaraku, lihatlah orang lain, setiap orang yang berinteraksi dengan kita dengan penuh ketulusan, karena kita akan menemukan potensi yang luar biasa yang bahkan dengan potensi itu akan mampu mendatangkan “mukjizat” bagi kita, organisasi kita. Atau bahkan bangsa dan negara kita.
Tetap semangat
Kita semua