Topik tulisan saya kali ini barangkali terkesan provokatif bagi sebagian orang, atau mungkin terlalu lebay atas sebuah perbandingan. Ya, bisa jadi, tapi kalimat diatas bukan tanpa alasan menjadi topik tulisan saya. Pada Medio 2018, saya bersama dengan beberapa tim Training Centre PT. Ricobana Abadi melakukan kunjungan ke SMK Bina bangsa di Kabupaten Malang, sebuah SMK yang kami akan melakukan kerjasama sama. Kami akan merekrut beberapa siswa nya untuk menjadi Karyawan perusahaan kami. Dalam rangka untuk memastikan kualitas pendidikan yang sudah dilakukan, apakah kurikulum nya memang benar sesuai dengan yang sudah kami terima atau tidak. Sekaligus kami melakukan seleksi interview kepada calon karyawan dari lulusan SMK Bina Bangsa tersebut. Ketika saya dan tim memasuki arena sekolah tersebut, saya tidak merasakan perbedaan sebagaiman sekolah sekolah yang lain terlihat siswa siswi yang melakukan aktivitas mereka di waktu istirahat, mereka ke kantin, menikmati waktu istirahat mereka dengan makan sncak sambil bercengkerma dengan rekan rekan mereka. Beberapa ada yang antri untuk melaksanakan Solat, sepertinya solat duha karena jam di tangan saya menunjukkan pukul 09.30 WIB. Saya menjadi semakin penasaran dengan suasana dalam sekolah ini, karena semua aktivitas dari siswa tersebut menurut saya bukan sesuatu hal yang lumrah, akan tetapi ada sebuah sistem yang akhirnya membuat akvivitas para siswa nya menjadi teratur. Sebelum bertemu dengan Bu Siti, kepala Sekolah SMK Bina Bangsa tersebut, Syaikh Jafar Sodik, Direktur Indonesia Learning Centre (ILC) sebuah lembaga pendidikan yang di buat untuk mencetak tenaga tenaga ahli alat berat di Malang ini, sayang minta ijin untuk ke kamar mandi. Sebenarnya ke kamar kecil nya bukan tergesa amat, namun ada sebuah “misi” yang saya lakukan untuk memastikan bahwa sekolah ini memang memiliki “menu “ yang lain. Dan ternyata benar, kamar mandi siswanya sangat bersih. Ya, kamar mandi siswa yang saya tuju, bukan kamar mandi tamu, bahkan saya dipersilahkan untuk menuju kamar mandi dewan guru, namun saya memilih kamar mandi siswa nya. Dan kamar mandi siswanya sangat bersih. Tidak ada coretan pada dinding dinding nya, tidak ada sampah yang berserakan, tulisan “matikan kran air saat selesai menggunakan toilet” juga utuh tertempel di dinding dan terlihat sudah lama di pasang.
Luar Biasa, Mulai dengan menata sandal sepatu kita untuk menunjukkan identitas sebuah bangsa. Ibu Siti akhirnya menjelaskan sistem pembelajaran yang ada di SMK tersebut. “Kurikulum dan sistem pengajawan di kami saya rasa sama dengan SMK yang lain Pak. Hanya kami melakukan improve beberapa hal, salah satunya adalah kami berusaha menumbuhkan kesadaran dari seluruh Bapak Ibu Guru dan para siswa untuk meningkatkan peran mereka sebagai keluarga besar SMK Bina Bangsa ini, kami membuat sistem kredit point untuk memastikan evaluasi dan monitornya apakah bisa di lakukan atau tidak. Berlaku bagi Bapak Ibu Guru dan Siswa siswi yang ada di SMK ini. Total kredit poin mereka ada 100, jika mereka melakukan sebuah pelanggaran maka mereka akan menambah poin mereka, dan jika sampai 100 maka kami akan keluarkan siswa dan guru dari SMK ini”. Konsep ini juga barangkali sudah banyak diterapkan di sekolah sekolah yang lain. Dan ini adalah sesuatu yang luar biasa.
Menata sepatu dan sandal untuk meningkatkan identitas bangsa.
Sebuah kalimat yang ternyata menjadi sebuah teguran yang sangat halus namun tajam bagi saya, dan barangkali bagi kita semua bangsa Indonesia. Saya sangat tidak sepakat jika ada sebuah penyataan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang pemalas, bangsa yang tidak disiplin dan lain lain yang bernada pesimis dari orang lain. Atau mungkin dari bangsa kita sendiri. Namun ternyata memang kenyataanya masih banyak hal hal yang perlu kita perbaiki. Dan proses itu tidak dimulai dari hal hal yang besar dari bagaimana bisa mengurus sebuah negara sesuai dengan amanah undang undang, atau mengelola sumber daya alam Indonesia untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Karena identitas bangsa Indonesia ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Presiden kita, bukan tanggung jawab menteri menteri kita. Atau bukan pula tanggung jawab dari Gubernur walikota dan bupati para pemimpin daerah. Bukan pula tanggung jawab dari jajaran pimpinan perusahaan baik negeri maupun swasta. Namun itu menjadi tanggung jawab kita semua. Ya.. tanggung jawab saya dan anda. Saya dan anda yang mengaku sebagai orang Indonesia.
Kita coba evaluasi dan kita renungkan keseharian kita dan keluarga kita di rumah. Apakah kita sudah merapihkan sandal dan sepatu kita ketika kita masuk kedalam rumah kita. Demikian juga ketika kita keluar rumah kita. Mari kita renungkan dengan jujur. Jikapun anda sering atau rutin menata kembali sepatu dan sandal tersebut, namun apakah hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan atau budaya di rumah kita. Dimana, ada yang menegur atau tidak, kita, pasangan kita, anak anak kita merapihkan sandal dan sepatu nya ketika memasuki rumah atau meninggalkan rumah kita. Dan saya rasa jawabannya masih banyak diantara kita yang belum melakukan hal tersebut. Kaitannya dengan topik yang saya sampaikan bahwa dengan menata sandal dan sepatu kita, kita akan meningkatkan identitas bangsa kita menjadi sangat relevan. Saya berani mengatakan bahwa jika displin dengan menata sandal dan sepatu sudah membudaya kepada semua anggota keluarga kita maka identitas keluarga sebagai keluarga yang disiplin akan tercipta. Semua orang akan mengatakan hal yang sama bahwa keluarga kita adalah keluarga yang memiliki kedisiplinan yang tinggi. Saya menyampaikan, jika kita sudah membudayakan kedisiplinan pada hal hal yang sepele dan kecil tersebut, maka kita akan memiliki karakter pribadi yang disiplin dalam segala hal. In sya Alloh.
Memang masih cukup banyak hal hal yang terjadi di sekitar kita yang menunjukkan sebuah indikator betapa tidak disiplinnya kita. Saudara saudara kita. Bangsa kita. Perjalanan kita ke kantor, kita akan melihat sebuah kenyataan betapa masing masing pengendara sepeda motor itu seolah olah “menghalalkan segala” cara untuk cepat sampai ke kantor. Trotoar bahkan dilalui sepeda motor, jalur Transjakarta yang seharusnya steril dari kendaraan pribadi, penuh dengan sepeda motor dan mobil pribadi. Dengan alasan tidak ingin terlambat ke kantor seolah menghalalkan cara cara tersebut. Padahal ini adalah prilaku yang tidak disiplin. Pengendara yang saling menyerobot untuk masuk jalur Gerbang Tol, juga menjadi pemandangan yang setiap hari bisa jadi kita saksikan. Dan hal ini adalah perilaku yang tidak displin. Dengan alasan apapun. Bahkan saya pernah membaca sebuah berita, dua orang pengendara mobil yang akhirnya berantem gegara saling serobot untuk masuk gerbang tol. Bahkan satu diantaranya sampai masuk ke rumah sakit.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang kawan dari Singapura, beliau mengatakan sebenarnya masalah banyak nya kendaraan atau kemacetan yang terjadi di perjalanan, di negara manapun hal tersebut bisa terjadi. Yang membedakan adalah kedisiplinan para pengendara motor atau mobil di jalan tersebut yang menentukan. Jika anda pernah ke Singapura atau ke Korea Selatan, maka anda akan susah sekali mendapatkan sampah di jalan maupun di tempat tempat umum, jarang sekali bahkan tidak akan kita dapatkan warga yang menunjukkan sikap ketidak disiplinan di jalan raya. Kita akan susah sekali mendapatkan pos polisi atau polisi di sepanjang jalan jalan protokol di ibu kota negara tersebut. Demikian juga kita akan sulit sekali mendengarkan suara klakson dari pengendara di jalan raya. Saya sepakat bahwa negara negara “maju” tersebut adalah negara yang bukan hanya dari indikator kedisiplinan dan keteraturan di jalan raya para penduduknya, namun juga karena para pejabat dan penduduknya memiliki kedisiplinan yang sama. Seolah mereka malu kalau mereka tidak disiplin. Kalau mereka tidak patuh dan teratur. Baik dalam mengelola tanggung jawab sebagai pejabat publik maupun sebagai warga. Dan akhirnya itulah yang menunjukkan kualitas bangsa Singapuran dan Korea Selatan.
Dan saya mengatakan, spirit kedisiplinan itu dilakukan dan dimulai dari hal hal yang sederhana dan sepele, mereka disiplin dalam menata sandal dan sepatu mereka, mereka disiplin memakai pakaian mereka, mereka disiplin menata ruang ruang belajar dan ruang keluarga mereka. Mereka disiplin dalam menonton acara – acara di televisi mereka. Dan mereka disiplin memasuki kantor mereka, mengerjakan tugas mereka, melaksanakan tanggung jawab mereka. Mereka menjauhi korupsi karena mereka sudah membiasakan dan membudayakan kedisiplinan itu. Mereka malu jika melanggar. Para pejabat mereka akan mundur dari jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran. Mulai dari anak anak SD, bahkan TK sudah diajarkan hal tersebut. Ksrena ayahnya juga disiplin, ibunya disiplin, kakek neneknya, bibi nya, tetangganya, kawan mainnya dan semua orang yang dijumpai juga disiplin, maka akhirnya anak anak ini akan menjadi bagian dari generasi disiplin di keluarga tersebut. Di lingkungan tersebut dan di negara tersebut.
Saudaraku, yuk kita tunjukkan identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kepribadian disiplin ini dalam segala hal. Tanpa perlu kita pikir jauh apakah usaha yang kita lakukan akan benar benar meningkatkan identitas kita sebagai bangsa yang besar, mari kita mulai dan kita lakukan dari diri kita. Mulai dari kita menata sandal kita, menata sepatu kita. Karena dengannya akan membiasakan diri kita disiplin dalam segala hal. Kita ajak suami atau istri atau anak anak kita agar memiliki hal yang sama. Saya berharap semua bangsa indonesia membaca tulisan saya ini, karena saya ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa yang disiplin dalam segala hal.
Kita mulai dari menata sepatu dan sandal kita, selanjutnya kita tunjukkan identitas bangsa kita. Amin